Sabtu, 07 Oktober 2017|17:22:53 WIB
Jakarta: Vonis majelis hakim perkara korupsi e-KTP terhadap terdakwa Irman dan Sugiharto digugat jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jaksa KPK keberatan dengan pertimbangan majelis hakim yang menghilangkan sejumlah nama terkait peran dan aliran uang proyek e-KTP ke sejumlah pihak.
Dalam surat dakwaan dan tuntutan jaksa menyebutkan secara rinci nama-nama penerima uang proyek e-KTP yang sebagian besar berasal dari anggota DPR, termasuk Setya Novanto yang kini sudah berstatus bukan tersangka lagi.
Namun dalam pertimbangan putusan, majelis hakim hanya menyebutkan tiga nama anggota DPR yang terbukti menerima uang proyek e-KTP yakni Ade Komarudin, Markus Nari, dan Miryam S Haryani.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar mengatakan, perbedaan putusan dengan tuntutan jaksa merupakan hal wajar dalam suatu perkara.
Majelis hakim dalam mengeluarkan vonis merujuk pada fakta persidangan yang berasal dari keterangan saksi, ahli, hingga alat bukti yang kemudian menjadi keyakinan untuk memutus suatu perkara.
Meski demikian, Abdul pun tak menampik kemungkinan faktor lain yang memengaruhi hakim hingga sejumlah nama hilang dalam putusan tersebut.
“Bisa saja nama-nama itu sengaja dihilangkan karena ada ‘permainan’. Padahal KPK sudah pasti tidak sembarangan dalam menyebutkan nama-nama. Mereka punya bukti, jadi wajar saja kalau jaksa KPK banding terhadap putusan,” ujar Abdul kepada media.
Jika majelis hakim hanya mendasarkan pada keterangan saksi yang membantah penerimaan uang, menurut Abdul, wajar apabila sejumlah nama kemudian hilang dalam pertimbangan putusan.
Namun pertimbangan ini dinilai tak masuk akal karena membuat seluruh saksi yang dituding menerima menjadi tak terbukti.
“Simpulan hakim itu konyol. Walaupun ada saksi yang membantah, KPK kan punya bukti misalnya lewat rekening betul atau tidak ada transaksi,” katanya.
Menurut Abdul, Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga pengawas hakim mesti ikut mengusut dugaan pelanggaran yang dilakukan majelis hakim perkara e-KTP.
Tim dari KY, kata dia, bisa memeriksa proses pengambilan putusan hingga substansi perkara sebagai petunjuk menemukan dugaan pelanggaran.
Terlebih, kata Abdul, pertimbangan dalam putusan hakim ini menjadi penting karena bisa menjadi alat bukti bagi penyidik KPK untuk mengembangkan perkara.
“Itu bisa jadi alat bukti. Ya walaupun tidak selalu karena KPK kan sudah banyak menggali bukti lain,” katanya.
KY saat ini tengah mengkaji dugaan pelanggaran etik dalam proses pengambilan putusan perkara korupsi e-KTP kepada lima hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Seluruh materi dalam persidangan sedianya menjadi otoritas hakim yang memeriksa. Namun jika ada pelanggaran kode etik, KY berwenang turun tangan.
Cnni/RRN